dadada

dadada

Informasi jitu tentang Pangan, Pertanian dan Budidaya serta tips seputar cara berkebun

06/08/15

Swasembada Pangan Tak Kunjung Datang

Kisah tentang Indonesia menjadi negara swasembada beras tak lagi terdengar. Itu hanya menjadi sebuah kisah usang yang muncul setiap diskusi pangan nasional. Kegelisahan akan nasib sektor pangan nasional terus menguak. Swasembada pangan tak kunjung datang: hanya menjadi jargon kampanye politik para elit.

Swasembada Pangan Tak Kunjung Datang

Apa itu swasembada pangan? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan swasembada sebagai usaha mencukupi kebutuhan sendiri. Dalam kaitanya dengan urusan pangan, swasembada pangan lebih diartikan sebagai usaha mencukupi atau memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Swasembada juga diidentikan dengan sebuah sikap bebas, mandiri, otonom, atau independen.

Artinya, dalam urusan pangan kita harus bisa mencukupi kebutuhan pangan nasional secara mandiri tanpa pangan yang dipasok dari luar: kita tidak membeli pangan dari luar tetapi mencukupi kebutuhan dengan pangan hasil olahan kita sendiri, dari tanah kita sendiri.[1]


Secara historis, Indonesia pernah melakukan hal itu. Pada era kepemimpinan Soeharto, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada beras. Di bawah payung gerakan revolusi hijau, Soeharto menggenjot produksi padi secara signifikan, melalui program sawah sejuta hektar. Berbarengan dengan itu, investasi pestisida dan pembangunan industri benih, pupuk dan sarana pertanian lainnya juga turut digenjot.

Usaha pertanian Indonesia, kala itu, dianggap maju, hingga pada 1985, Indonesia mendapat penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) Gerakan revolusi hijau itu sendiri sebenarnya bukan yang pertama kali dilakukan di dunia. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini.

Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960).[2] Masih Sebatas Harapan Meski masih debatable, kesuksesan Soeharto menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras tidak dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya.

Memang, harus diakui pula bahwa ada yang mengganggap kebijakan Soeharto kala itu terkesan “memaksa”, lantaran strategi sawah sejuta hektar yang digalang untuk mewujudkan swasembada beras ala Soeharto. Pasalnya, lahan yang tak layak ditanami padi dan lebih cocok ditanami komoditas lain selain padi dipaksakan untuk ditanami padi.

Padahal, jauh sebelum program itu dijalankan, petani di beberapa daerah telah memanfaatkan makanan berkabohidrat selain beras sebagai makanan utama. Dengan kondisi itu, seharusnya lahan mereka tidak diubah menjadi sawah untuk ditanami padi.

Opsi lain yang masih bisa diambil yaitu mengembangkan komoditas selain padi agar bermanfaat bagi petani. Pada era pemerintahan selanjutnya, swasembada beras tak lagi terdengar sebagai sebuah fakta keberhasilan. Padahal, anggaran untuk sektor pertanian setiap pemerintahan selalu meningkat.

Pada era SBY, untuk menggenjot target swasembada pangan, anggaran pertanian ada di angka yang fantastis. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) 2014 merilis pada 2005-2014 anggaran pertanan dan pangan meningkat 611 persen dan target kementerian pertanian surplus beras hingga 10 juta ton. Ironisnya, berdasarkan data BPS 2014, anggaran sebesar itu malah melahirkan impor pangan yang meningkat 346 persen dalam kurun waktu 2003-2013. Impor beras pada 2014 juga besar yaitu 1,225 juta ton.[3]

Total anggaran kementerian pertanian pada APBN 2015 senilai Rp 32,7 triliun. Dari total anggaran ini, kementan akan menjalankan sejumlah agenda pertanian nasional, antara lain rehabilitasi jaringan irigasi, bantuan benih, bantuan pupuk, dan bantuan alat mesin pertanian (alsintan). Dalam beberapa kesempatan, pemerintah secara gamblang menjelaskan bahwa kucuran anggaran yang besar dan sejumlah program pembangunan sector pertanian tersebut diarahkan untuk mengejar target swasembada pangan dalam kurun waktu 3 tahun.

Total anggaran yang besar itu ternyata masih belum mampu mengembalikan Indonesia menjadi negara kuat dalam urusan pangan. Swasembada hanya tinggal harapan, dan akan selalu menjadi jargon politik para elit untuk mendulang dukungan publik dan mengisi kolom- kolom media massa, tanpa realisasi. Buktinya, impor pangan pada 2015 masih terjadi, pasokan pangan nasional juga masih kurang. Anggaran pertanian hanya dimanfaatkan untuk tambal sulam kebijakan: gali lubang tutup lubang.

Konsistensi Jokowi Harapan besar petani kembali disematkan di pundak Presiden Joko Widodo. Apalagi, swasembada pangan juga merupakan salah satu target kerja pemerintahan Jokowi. Jika Jokowi konsisten dengan agenda swasembada pangan, kebijakan pertanian Indonesia harus didudukan diatas kepentingan petani: kesejahteraan petani harus jadi visi utama.

Jangan sampai kebijakan pertanian hanya menjadikan petani sebagai objek. Keberanian dan ketegasan untuk menghentikan derasnya arus impor bahan pangan perlu menjadi misi utama kebijakan pertanian. Jika tidak, swasembada pangan hanya akan terus menjadi harapan yang tak kunjung datang.*

Marsel Gunas
[1] Definisi swasembada menurut KBBI menggambarkan betapa swasembada tak memungkinkan derasnya laju impor bahan pangan. Apalagi, negara kita adalah negara agraris, yang kaya hasil bumi dan sejumlah tanaman pangan.

[2] Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia.

[3] Ironis memang jika kita melihat besarnya anggaran bagi sektor pertanian. Jumlah anggaran itu tak sebanding dengan output hasil pertanian yang tak bisa mencukupi kebutuhan pangan nasional. Alhasil, kita makin rajin impor, petani makin susah. Baca: http://print.kompas.com/baca/2015/05/12/Swasembada-Tanpa-Petani

cxzsz

zzzc